Wednesday, April 21, 2010

Bayang-bayang Kelabu Una

Una sedang terdiam di kursinya, mematung menghadap layar komputer. Entah apa yang sedang ia tatap di monitor itu.
Ketika itu seorang teman kantornya menyadarkan ia dari lamunannya.
"Una... lagi ngapain loe? buka bokep ya loe?"
"Aiiihh si bapak... kali dah gw buka bokep, emang nya bapak... doyan sama yang begituan.." dan keduanya pun tertawa.

"Na, tadi gw kirim email, tolong di kirim ya penawaran nya ke PT. C". "Ok pak, ntar gw kirim, minta contact detailnya yaa", sambung Una.
"Udah ada di email yang barusan gw kirim ke loe".
Una pun dengan segera menyelesaikan pekerjaannya.

Una masih single, belum lagi punya pacar, setelah kurang lebih 1 tahun yang lalu ia berhubungan dengan laki-laki. Ia pun masih terbilang muda, walaupun di kantornya ia bekerja sekarang, ia satu-satunya wanita single yang belum menikah, umurnya masih 25 tahun.
Kalau kata teman laki-laki di kantornya, "Na, loe tuh dah UGD - Umur Gawat Darurat, kalo loe ga nikah-nikah juga, bakalan ga laku loh".

Ini kota besar bung, Jakarta, masih banyak perempuan single diatas umur 30 yang belum juga menikah. Tapi ia menyadari bahwa teman laki-laki di kantornya memang sayang terhadapnya, mereka berkata demikian karena mereka tak mau Una terus-terusan single, pacar pun tak punya. Una memiliki banyak teman laki-laki, tapi ia selalu menganggap teman ya teman, sahabat ya sahabat. Kalau sudah jadi sahabat, tak mungkin jadi kekasih. Karena dulu ia pernah mempunyai sahabat dari kecil yang kemudian menjadi kekasihnya, tak sampai 3 bulan mereka berpacaran, hubungan pun kandas di tengah jalan. Dan kemudian persabatan mereka pun retak. Tak pernah kumpul-kumpul bersama lagi. Butuh 2 tahun setelah kejadian itu sampai mereka mulai berkomunikasi layaknya teman.

Teman-teman sekantornya berusaha menjodohkan Una dengan Jeffrey. Jeffrey masih single di usia yang tak bisa dibilang muda lagi. Saat ini Jeffrey, berumur 34 tahun, 9 tahun perbedaan mereka. Banyak orang bilang mereka adalah pasangan yang ideal, dilihat dari segi fisik ataupun yang lain.
Diam-diam, Una pun punya hati untuk Jeffrey, entah dengan Jeffrey. Dahulu mereka sering pergi makan berdua, jalan berdua, tapi Jeffrey sedingin batu es, sikapnya tak pernah dapat ditebak. Di depan teman-temannya, Jeffrey berusaha menunjukan kalau ia "dekat" dengan Una. Tapi buat Una, itu tidak cukup, mereka jarang berkomunikasi, walaupun mereka setiap hari bertemu dikantor, tapi tidak membuat mereka saling bicara.
Hingga Una pun lelah. Ia telah memutuskan untuk menghentikan "sinyal-sinyal" yang selalu ia kirim ke Jeffrey. Sikap Una berubah ke Jeffrey. Una bersikap layaknya hubungan antar teman kerja. Ia akan berbicara ke Jeffrey, jika pekerjaan mengharuskan mereka berbicara.

Sepertinya perubahan sikap Una selama ini telah membuat Jeffrey tersadar. Jeffrey tak sedingin batu es lagi. Ia bersikap lebih ramah ke Una. Menegur Una dengan ucapan selamat pagi, kalau mereka berpapasan di koridor. Mengunjungi Una di ruangannya hanya untuk berbasa-basi. Dan Una pun menyadari perubahan sikap Jeffrey, tapi ia tak berusaha membalas sikap nice Jeffrey terhadapnya. Hatinya telah sakit, hatinya pernah kecewa, Una tak ingin membangun harapan kosong lagi untuk laki-laki seperti Jeffrey.

Una masih saja duduk di kursinya, sambil melihat ke luar jendela tempat ia duduk. Ia bisa menghabiskan bermenit-menit melihat gedung-gedung bertingkat di sebelah kantornya. Melihat perbedaan yang sungguh menyolok, antara gedung bertingkat dan rumah-rumah penduduk.
Ketika ia menengok keluar ruangannya, ia melihat Jeffrey sedang bercakap-cakap dengan Maria. Mereka tampak asyik sekali berbicara.
Maria masih gadis, tapi ia sudah cukup berumur, tahun ini ia berumur 39 Tapi sampai sekarang ia belum juga kunjung menikah. Kalau kata teman-temannya, Maria sakit hati karena mantan pacarnya sudah menikah duluan.
Una keluar ruangan, jantungnya berdebar lebih keras daripada biasanya. Masihkan rasa itu terhadap Jeffrey? Apakah debaran ini adalah rasa cemburunya?
Tidaaakk, jerit Una dalam hati. Aku tak memiliki lagi rasa ini ke Jeffrey. Dengan terburu-buru Una masuk lagi ke dalam ruangan dan segera mematikan komputernya, untuk segera pulang kerumah. Ia keluar ruangan tanpa mau melihat mereka berdua bercakap-cakap.
Ia berlari pulang... Berlari dari rasa di hatinya.
Hanya satu yang ia ingini sekarang, ia ingin bertemu laki-laki pujaan hatinya yang memang telah disiapkan untuknya oleh Tuhan. Dan ia percaya, bahwa laki-laki itu bukan Jeffrey.


2 comments:

  1. hmm asumtif abis otak gw nih ama kisah ini hehehe,, saran aja sii pee bilangin ama una, kalo sakit hati.. adepin sakitnya, perihnya, keselnya, marahnya.. jangan lari, jangan menghindar,, adepiin ampe sakitnya ga terasa.. pasti abis itu lebih mendingan hehehe

    ReplyDelete
  2. hahah.... ya ya ya...
    ntar dah kalo gw ketemu ma yang namanya Una... hehehe..

    ReplyDelete